Albert Einstein, Ilmuwan extremely good jenius dari USA pada tahun 1905 telah mengenalkan teori relativitas umum. Teori ini menjelaskan bahwa ada keterkaitan antara benda-benda di alam semesta yang saling mempengaruhi satu sama lain, tidak mutlak. Salah satu implikasinya adalah relativitas waktu yang dirasakan berbeda (dilatasi waktu) antara manusia di bumi dan astronot di dalam pesawat luar angkasa. Dari sudut pandang di Bumi, waktu astronout melambat.
Contoh lain, saat kita bahagia waktu berjalan cepat, saat kita menunggu waktu berjalan lambat. Apakah ini juga masuk teori relativitas umum? Maaf, untuk selanjutnya saya tidak akan membahas teori ini lebih lanjut..Maklum udah lama nggak belajar fisika. Hehehe.
Pada kehidupan ini, nyatanya relativitas berlaku dalam berbagai aspek. Cantik itu relatif, jelek itu mutlak, kaya itu relatif, pintar itu relatif. Banyak kepala banyak pemikiran. Banyak mata, banyak cara pandang.
Ini sebenarnya adalah ganjalan yang ingin saya tulis sejak 2012 dan baru sekarang akhirnya rilis. Serasa album lagu, dikarang bertahun-tahun sekalinya rilis langsung hits. Kalau tulisan beda cerita, saya memeramnya sekian lama biar matang seiring usia saya bertambah. Sengaja dibaca puluhan kali, karena yaaah, begitulah saya yang terlalu ragu-ragu untuk post sesuatu curhat di ranah publik.
All about the cash. Semua tentang uang. Satu kata dengan banyak sudut orang memandangnya.
Berhubung uang selalu menyentuh semua aspek kegiatan kita, lantas uang menjadi pangkal persoalan, maka tak heran jika ada istilah "ujung-ujungnya duit". Apa yang saya temui ini, mungkin juga pernah ditemukan di sekitar anda.
Relativitas honor menulis.
Setelah merasakan manisnya menulis untuk media cetak, tahun 2012 saya mulai bergabung pada grup-grup menulis online. Dari sini saya merasakan pengalaman baru dan membuka wawasan lebih banyak tentang dunia menulis. Selain belajar mengenai teknik menulis, grup tersebut juga memberikan peluang job menulis, dari menulis buku antologi (buku yang terdiri dari tulisan beberapa penulis), buku 'How To", buku anak, buku fiksi dll. Dulu masih jarang menulis konten online. Baru ada beberapa situs saja.
Menjadi penulis itu pekerjaan prestis dan "sexy". Tetapi tidak selalu demikian soal honornya. Memang ada pencilan beberapa penulis yang sukses dengan buku first-rate vendor atau dilamar tokoh untuk menulis biografi tentangnya sehingga meraup penghasilan puluhan juta hingga milyaran. Namun yang saya temui di sekitaran saya, dalam komunitas menulis tersebut, adalah penulis yang masih harus berjuang keras untuk bisa sampai pada titik honor menulis bisa untuk menghidupi diri dan keluarganya.
Saya biasanya mendapatkan honor sekitar Rp. 150.000 - Rp. 1.000.000 untuk satu artikel menulis di media cetak (tahun 2007-2015). Begitu memasuki grup menulis, saya tahu bahwa kisaran honor menulis untuk buku masih jauh di bawahnya. Kira-kira ini yang pernah saya catat dan ketahui, jika ada tambahan silakan tulis di kolom komentar.
Menulis satu cerita three-4 halaman A4 yang akan dijadikan buku antologi imbalannya bisa (hanya) tercantum namanya, tidak selalu mendapatkan buku cetaknya. Kalau ada yang mendapatkan satu bukti cetak untuk setiap penulis, itu sudah tergolong mewah. Bukan koordinatornya pelit, namun memang uang yang dia dapatkan tidak cukup untuk membelikan buku sebanyak jumlah penulis. Sementara satu buku penerbit hanya memberikan 10 sampel buku gratis. Selebihnya, ya beli dari kocek sendiri.
Menulis buku "How To" per halamannya dinilai Rp. 10.000 - Rp. Thirteen.000. Biasanya topik sudah dipesan oleh penerbit sesuai kebutuhan pasar. Kalau satu buku one hundred-two hundred halaman, maka honor penulis tinggal dikalikan harga in line with lembarnya. Kebayang kan beratnya? Butuh waktu beberapa minggu hingga bulan untuk menyelesaikan satu buku hingga honor cair.
Menulis konten untuk internet site, honor menulisnya kurang lebih sama dengan menulis buku "how to". Apalagi saat itu internet site belum bernilai komersil seperti sekarang.
Untuk memaklumi hal ini mari kita lihat di balik dapur lahirnya sebuah buku. Buku digawangi oleh pencetus idenya (sebut : PJ ; penanggug jawab) yang akan menentukan outline buku, menyelesaikan tulisan (jika ditulis sendiri) atau menyeleksi tulisan yang masuk (jika ditulis keroyokan) dan menatanya sehingga layak menjadi buku. Sebuah buku oleh penerbit bisa ditawar dengan 2 pilihan : beli putus atau royalti 10%. Beli putus artinya hak terbit buku dibeli sekali saja di depan. Kisarannya 2 juta - five juta untuk satu buku (ini yang saya tahu di lingkaran pertemanan saya). Banyak penulis yang memilih beli putus karena tahu menjual buku itu tidak gampang. Kalau mengandalkan royalti 10%, maka buku seharga 30 ribu harus dijual minimum seven-hundred buku untuk mendapatkan royalti Rp. 2.100.000. Dan menjual sebanyak itu tidak gampang.
Dulu saya sempat bersombong, mending menulis untuk media dong, nulis beberapa halaman tapi dapat honornya banyak. Etapi, coba pikir lagi, menulis untuk media itu tidak mudah menembusnya. Sebulan apa bisa dipastikan satu tulisan akan dimuat? Honornya pun tidak langsung cair.
Tak heran jika penulis yang memang menghidupi dirinya dari menulis, memilih jalur menulis untuk buku / content writer yang bayarannya tersebut di atas. Tapi kan nggak hanya selembar jobnya, biasanya mereka menerima job dalam bentuk paket sehingga honornya lumayan. Jika penulisnya rajin, sehari bisa setidaknya 10 lembar, berarti kan sehari bisa 100-130 ribu. Cukup untuk kebutuhan harian. Tinggal dikalikan sekian hari.
Semuanya itu tergantung kepandaian penulis mencari peluang, kecepatan menulis, dan target-goal yang ditetapkan untuk dirinya sendiri. Ada penulis yang mau dibayar 20 ribu in line with artikel karena buat beliau itu gampang dan sebulan bisa menulis 300 artikel (berpenghasilan sekitar Rp. 6 juta). Dari sini saya melihat relativitas pandangan seseorang terhadap honor menulis. Kita tidak bisa hanya melihat yang indah-indahnya saja, tapi lihat yang seluas-luasnya. Dari sini saya tidak lagi memandang honor menulis yang hanya belasan ribu itu kecil dan bertanya-tanya kenapa ada yang mau. Karena dibalik kebersediaan itu, ada kemampuan menulis level ekspert yang meringankan pekerjaannya dan ada keluarga yang butuh dihidupi.
Relativitas honor menulis blogger.
Eh blogger kalau menulis ada honornya? Ada dong. Kita bicara soal tulisan berbayar di blog. Sebenarnya selain menulis, blog bisa menghasilkan uang dari adsense dan lain-lain yang saya enggak paham. Jadi saya hanya bicara soal honor menulis blogger.
Sepanjang saya tahu, tulisan berbayar (sponsored post) blog ada beberapa bentuk antara lain tulisan reportase (blogger diundang dan menulis reportase), tulisan produk review (blogger menerima benda untuk dicoba dan direview), tulisan link placement (blogger menulis bebas dan sponsor nitip link pada tulisannya). Ada juga content placement, tapi ini bukan job menulis berarti ya? Hehehe..
Di manapun, ada grade gaji / honor untuk sebuah keahlian. Begitupun untuk blogger. Ada level seleb yang sekali datang ke acara bisa dua hingga belasan juta. Tapi saya enggak kenal yang degree itu. Teman-teman blogger yang saya kenal baru pada degree calon-seleb, yang kisaran fee-nya baru disebut pengganti transport.
Ketika sebuah tawaran datang dengan hak dan kewajiban yang disebutkan oleh sponsor, ada blogger yang mau, ada yang enggak. Setali tiga uang dengan honor menulis. Tergantung kemudahan seorang blogger untuk melakukannya dan tergantung kebutuhan hidup juga. Jadi menurut saya, ketika ada sebuah job bernilai relatif rendah dan banyak yang mau, itu bukan maksud bloggernya mau merusak pasaran, itu karena kebutuhan hidup. Kita nggak bisa melarang "Jangan terima job murah, nanti merusak pasaran". Kalau mau melarang mending bilang gini "Jangan terima job murah, sini aku kasih job yang lebih mahal" gituuuu.
Setiap blogger punya kriteria job yang diterima dan ditolaknya. Kalau saya sih cenderung mauan ya, jadi saya tidak ada nilai minimal berapa saya akan menerima sebuah job. Sampel produk saja asal halal dan saya suka produknya saya akan mereviewnya. Undangan event yang kompensasinya makan siang dan godie bag, dengan senang hati saya akan menulisnya, karena saya sudah merasa bahagia bisa sambil ketemu teman-teman. Dengan catatan, tidak semua produk dan tidak semua undangan saya terima. Khusus tema-tema yang saya sukai saja, seperti parenting, makan-makan, wisata, kesehatan atau gadget.
Itu saya, yang memang punya penghasilan lain selain dari weblog. Buat teman-teman pejuang weblog, saya salut luar biasa. Menjadi full time blogger butuh energi besar. Dari satu occasion ke occasion lain, malamnya menyelesaikan cut-off date tulisan dari berbagai seller. Ya, ketika weblog menjadi sumber penghasilan, maka tidak perlu merasa kecil hati soal honor menulisnya yang belum kayak seleb blog. Selama mampu dan senang melakukannya, honor kecil akan bernilai plus. Seiring pengalaman, kita akan tahu di titik mana kita akan mencantumkan nilai honor.
Rendahnya honor menulis kita, bukan berarti rendah harga diri kita.
Yang rendah itu kalau kita selalu melihat honor yang tinggi-tinggi, jelaslah jadi merasa rendah.
Melihat honor lain yang lebih rendah bukan berarti diri kita lebih tinggi.
Siapa tahu yang kita lihat itu adalah bayangan diri sendiri.
Relativitas Harga Kopi.
Menurut saya, kopi itu sangat non-public. Seperti pasangan hidup. Kalau sudah suka kopi A dengan takaran tertentu, ya sudah. Jadi kalau masih mempersoalkan mana kopi lebih enak, mana kopi lebih prestis, mana kopi yang sebenarnya (emang ada kopi-kopian?) itu berarti masih mencari jati diri ke"kopi"annya.
Harga kopi salah satunya dipengaruhi oleh tempat minumnya, asal kopinya dan bagaimana proses membuatnya. Apakah harga kopi sebanding dengan kenikmatannya? Nah di sini berlaku hukum relativitas. Kenikmatan kopi tidak hanya bersumber di lidah. Tapi bagaimana suasana saat menikmatinya, dimana, sedang apa dan dengan siapa (nah lho). Kopi paling nikmat yang pernah saya rasakan adalah kopi yang sama sehari-hari saya minum, tetapi minumnya di tengah hutan jati, di Ngawi, Jawa Timur.
Untungnya, kopi kesukaan saya ada di kisaran harga Rp.2000 in keeping with cangkir. Jadi saya bisa ngopi sehari 3 kali tanpa harus berat memikirkan biayanya. Mungkin kalau kopi saya seharga Rp. 30.000 per cangkir, saya hanya bisa ngopi sebulan 4x saja. Hehehe. Bukan enggak sanggup beli, tapi sayang, mending uangnya dikasihkan buat bibi.
Relativitas rasa iba.
Tinggal di kota besar membuat rasa iba saya terkikis. Saking banyaknya gelandangan saya temui di jalan, sehingga kebal hati ini melihatnya. Hanya beberapa saja yang menyentuh. Rasa iba dan berlanjut pada keinginan menolong ini sifatnya sangat relatif. Karena kita dalam topik bahasan uang, jadi menolong yang dimaksud adalah menolong memberi atau meminjamkan uang.
Ada beberapa reaksi orang saat dipinjami uang. Terlepas dari siapa yang meminta tolong ya. Anggap saja Si E, yang meminta tolong memang lagi butuh, enggak pura-pura.
Respon Sikap A : Sebagai seorang yang cukup mampu, A seharusnya menolong. Ternyata tidak. Si A yang pernah merasakan berjuang dari bawah tidak mau menolong begitu saja. Usaha dong agar dapat uang! Gitu sarannya.
Respon Sikap B : Sebagai seorang yang juga miskin, si B justru ingin menolong. Si B tau susahnya jadi orang miskin. Cuma kadang kita mikir, gimana caranya dia mau nolong, dia sendiri miskin? Namun Si B mungkin berpikir, yang penting niat sudah tercatat. :)
Respon Sikap C : Sebagai seorang kaya, si C tidak ingin menjadi miskin suatu ketika. Si C tau tidak enaknya jadi miskin. Maka si C menolong dengan harapan agar terhindar dari kemiskinan. Bukankah Allah akan melipat gandakan rejeki orang yang bersedekah?
Itu baru three sikap. Kenyataannya lebih banyak lagi degree rasa iba seseorang dan alasannya dibaliknya.
Relativitas uang belanja.
Baru-baru ini viral dan kontroversi seorang ibu yang menunjukkan rincian uang belanjanya senilai Rp. 2.500.000 consistent with bulan. Ada yang mengganggap angka itu wajar, ada yang mengganggap angka itu kurang untuk jaman sekarang.
Penghasilan 2,5 juta in step with bulan itu setara dengan gaji PNS golongan 2 atau lulusan SMA sederajat. Untuk biaya hidup di kota besar ya cukup dengan pengetatan ikat pinggang dan hanya untuk kebutuhan pokok saja. Untuk kebutuhan periodik seperti uang sekolah, sewa rumah dll, ya pintar-pintar menabung atau bermanuver.
Di tempat kerja saya, ada yang penghasilannya Rp. 1000.000 (satu juta rupiah) per bulan. Yaitu penghasilan seorang janda dengan four anak usia sekolah. Cukup? Entahlah, saya tidak sanggup membayangkannya. Yang jelas, mereka masih hidup sampai saat ini, anak-anaknya masih sekolah dan sehat-sehat saja.
Sementara saya, yang penghasilannya lebih dari 2.Five juta in keeping with bulan, tidak sepandai ibu yang mampu mencukupkan penghasilannya itu. Tapi saya tidak protes sih, saya malah terinspirasi untuk benar-benar belanja sesuai prioritas. Lupakan Adidas, yang lama masih ada. Jangan gonta-ganti ransel, tas dilemari masih banyak. Sortir baju lama sebelum beli baju baru. Dan kalau nonton movie enggak usah beli popcorn dan minuman coklat, biayanya lebih mahal dari tiketnya bo!
Jadi kalau ditanya selembar uang Rp.10.000 (sepuluh ribu) bisa buat beli apa? Jawabanya bisa macam-macam.
A : buat makan 2 hari. Dibeliin singkong dibagi ke anak-anak
B : Buat naik angkutan umum sehari juga habis. Kurang malah. Jauh.
C : Bisa buat apa ya uang segitu?
D : Buat dikasihkan tukang sapu jalanan. Segitu sangat berarti.
Relativitas Upah Kerja
Seorang Profesor mempunyai tarif honor minimum Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah) untuk presentasi in keeping with satu jam. Dokter dibayar Rp.100.000 untuk konsultasi kurang lebih 10 menit, kadang kurang. Banyak lagi pekerjaan yang upah kerjanya lebih dari itu. Hanya hadir sebentar, dibayar jutaaan rupiah. Mereka dibayar tinggi karena keilmuannya atau keahliannya. Sesuai dengan modal yang selama ini dikeluarkan untuk biaya pendidikan dan jam terbangnya. Dan memang pantas jika kita menghargai seseorang sangat tinggi karena bidang keahliannya.
Lantas bagaimana dengan tukang sapu, cleansing servis, pembantu rumah tangga atau tukang bangunan yang jam kerjanya sudah tinggi? Berlaku juga peningkatan upah untuk mereka yang sudah berpengalaman, namun tidak banyak. Antara yang kerja setahun dua tahun, dengan yang kerja belasan hingga puluhan tahun, tidak banyak bedanya. Masih banyak yang upah kerjanya per bulan masih di bawah UMR.
Katanya, itulah beda kerja otot dengan kerja otak. Kerja otot relatif lebih murah upah kerjanya. Sedangkan kerja otak jauh lebih tinggi. Sebuah kreatifitas bisa sangat tinggi nilainya.
Katanya, tidak semua orang bisa kerja otak. Sedangkan kerja otot lebih mudah dipelajari jadi banyak yang bisa melakukannya. Bisa, tapi belum tentu banyak yang mau. Bukan karena kerja beratnya, tapi karena upahnya relatif kecil. Kerja otot kalau gajinya besar, pasti banyak yang mau.
Tapi saya suka berpikir begini, saya tidak bisa manjat genteng sendiri, kenapa saya mengupah rendah tukang bangunan? Saya tidak sanggup beberes rumah sendiri, kenapa rendah mengupah pembantu rumah tangga?
Relativitas upah kerja ini juga terkait sudut pandang. Anehnya, dari mata yang sama, bisa menghasilkan sudut pandang berbeda. Tentu saja karena arah melihatnya berbeda.
Contoh cerita, Seorang Profesor yang sedang menyelenggarakan pelatihan selama 2 hari, menetapkan honor Rp.1.000.000/jam (satu juta rupiah in keeping with jam) untuk dirinya dan rekan-rekannya, sehingga honor overall untuk narasumber selama 2 hari x 6 jam adalah Rp. 12.000.000, dibagi sesuai proporsi jumlah jam masing-masing.
Kacamatanya berbeda ketika menghitung upah untuk petugas kebersihan yang dimintai tolong harus stand by membersihkan toilet selama 6 jam dan ekstra waktu lembur sore hari. Tambahan upah kerja yang dipantaskannya untuk petugas kebersihan adalah Rp. 25.000 (dua puluh lima ribu rupiah) per hari Petugas kebersihan adalah pekerja otot yang sangat dia butuhkan agar kegiatannya berjalan sukses. Katanya, masih dalam jam kerja rutin. Segitu cukup untuk tips kerjanya.
Bagaimana dengan kerja Profesor yang juga masih dalam jam kerja? Itu beda, tidak bisa disamakan. Demikian jawaban yang kerap saya dengar.
Relativitas upah kerja berlaku di sini. Ragamnya sangat banyak. Cerita di atas adalah contoh agar kita bisa berpikir seberapa upah yang pantas untuk diri sendiri, dan upah yang pantas untuk orang lain.
Perbedaan upah kerja karena kerja otot dan kerja otak, semoga tidak membuat kita lupa, bahwa ada kesamaan kebutuhan dasar setiap orang. Walaupun nilainya tidak persis sama, tapi dalam kisaran yang setara. Setiap orang sama-sama butuh pangan, air bersih, tempat tinggal, penerangan listrik, biaya transportasi, biaya sekolah, dalam standar biaya hidup minimal yang hampir sama.
Penghasilan itu relatif. Kebutuhan dasar itu mutlak.
Ada nilai minimal yang harusnya dipenuhi.
Biaya minimal untuk hidup wajar.
Setidaknya, jika mau mengupah seseorang, hal di atas menjadi pertimbangan.
***
Sekian. Curhat yang timbul dari rasa ketidakadilan melihat upah kerja orang-orang di sekitar saya.
Seandainya saya bisa berbuat lebih banyak untuk menolong. Maaf lahir batin jika ada salah kata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar