Sudah berjalan 17 tahun saya melintasi Kota Solo setahun dua kali pada saat mudik. Kesan saya tentang Kota Solo hanyalah sebatas pemudik yang numpang lewat. Saya belum pernah menginap semalampun, apalagi tinggal beberapa hari menikmati suasana kota yang tekenal dengan keanggunannya ini.
Solo berbatasan dengan Karanganyar, Boyolali, Sukoharjo dan Sragen. Saya sudah pernah memasuki Solo dari keempat kabupaten tersebut. Karena saya sebatas lewat di kota Solo, maka dalam tulisan ini mungkin tidak bisa saya jelaskan nama-nama terkait lokasi ataupun jalan. Mohon dimaklumi, karena saya belum mengenal dengan benar seluk beluk kota Solo. Namun, saya ingin menuliskan kesan saya tentang kota Solo, dari kacamata pemudik.
Kesan Solo dari dalam Bis Malam
Tahun 1996-2007, saya mudik menggunakan bis malam. Pada arus mudik dari Jawa Barat ke Jawa Timur, biasanya bis melintas di Solo sekitar pukul 2 dini hari hingga subuh, tergantung kepadatan lalu lintas di Pantura. Banyak penumpang yang turun di sini. Sebagian memang berumah di Solo, sebagian lagi masih melanjutkan perjalanan ke pinggiran dengan angkutan umum. Saya sendiri masih melanjutkan perjalanan hingga ke Ponorogo, karena kampung halaman saya di Trenggalek.
Seringkali saya tidur saat bis malam tiba di Solo. Saya terbangun ketika bis tiba di terminal Tirtonadi. Mendadak ada suara-suara memecah keheningan penumpang. Lampu bis pun dinyalakan, dan para penumpang yang masih tidur gelagapan bangun mengucek mata.
"Arem-arem, tahu, jahe hangat....," demikian suara-suara pedagang asongan memasuki bis.
Tak lama bergantian pengamen memasuki bis. Rata-rata pengamen di kota Solo bisa menyanyi dengan kualitas bagus. Tampaknya darah seniman mengalir pada warga-warga Solo tanpa mengenal kasta.
Saya mempunyai kesan berbeda tentang pengamen di Solo dibandingkan dengan pengamen kota lain. Pengamen di solo biasanya menyanyi berkelompok, dua orang atau lebih, laki-laki dan perempuan. Mereka membawa lebih dari satu alat musik. Lagu yang dinyanyikan utuh dan beragam, bukan asal nyanyi. Itu kesan baiknya.
Ada juga kesan buruk yang saya tangkap, pengamen di terminal Tirtonadi ini cukup berani memaksa penumpang untuk memberikan recehannya. Saat itu, ada penumpang yang tidur dibangunkan oleh pengamen, ada juga penumpang yang disindir-sindir karena tidak mau menyumbang. Padahal menurut pendapat saya pribadi, menyumbang atau tidak adalah pilihan setiap orang. Dan orang akan lebih suka menyumbang kepada mereka yang mendatangkan simpati, bukan mengemis dan memaksa.
Pada arus balik dari Jawa Timur ke Jawa Barat, biasanya bis malam melintasi Solo sekitar pukul 15.00 - 17.00 sore. Bis menghadap ke arah barat menantang matahari. Sejak tiba di jalan Palur-Solo, bis sudah berjalan pelan merayap beriringan dengan bis-bis lain. Tidak heran terjadi kemacetan, karena memang jalan ini menjadi jalan utama bis malam. Sementara jalan ini juga banyak agen-agen bis malam tempat para penumpang berkumpul dan menunggu untuk naik. Otomatis, banyak bis yang berhenti menaikkan penumpang.
Dalam kemacetan ini saya justru menikmati suasana. Saya bisa melihat seperti apa kota Solo di siang hari. Kalau di sepanjang jalan Palur saya banyak melihat warung bakso rusuk, lebih dalam ke arah kota saya melihat toko-toko aneka rupa yang mempertahankan bangunan lama. Toko-toko berupa bangunan individual, khas pecinan atau pusat bisnis di kota-kota yang didominasi etnis China. Saya katakan ini adalah gaya lama dari pertokoan, karena sekarang pertokoan telah banyak berganti penampilan berupa deretan ruko dan rukan yang seragam. Nah, di Solo ini masih banyak toko dengan bangunan lama.
Kesan Solo dari dalam Mobil : Minim Petunjuk Arah
Mulai tahun 2007 saya dan keluarga mudik ke Jawa Timur menggunakan mobil. Pola mudik pun berubah.
Saya mencoba memulai perjalanan mudik pada jam-jam yang berbeda. Saya pernah mencoba mulai malam hari, dini hari, atau setelah subuh. Biasanya saya dan keluarga menginap di Semarang, dan berangkat lagi dari Semarang menjelang subuh. Dengan demikian, tiba di kota Solo sekitar pukul 8 pagi.
Solo pagi hari tampak menggeliat dengan aktivitas jalan raya yang ramai namun lancar. Proporsi mobil, motor dan angkutan umum cukup seimbang. Sebagai pemudik yang numpang lewat, kesan saya tentang Solo berubah lagi setelah mengendarai mobil sendiri.
Jalan-jalan di Solo banyak perempatan dan pertigaan. Namun sayangnya, minim petunjuk arah. Bukan sekali dua kali kami berputar-putar di kota Solo ini untuk menemukan jalan ke arah Surabaya atau Sragen atau Sukoharjo. Yang penting menemukan jalan keluar dari Kota Solo.
Selain itu, kota Solo adalah kota yang cukup rimbun dengan pohon-pohon besar di kanan dan kiri jalan. Ini adalah sisi baik yang harus dipertahankan. Efek sampingnya, pohon besar ini seringkali menutupi petunjuk jalan, sehingga tidak terbaca dari kejauhan. Saran saya, sebaiknya pohon di sekitar pertigaan atau perempatan dipangkas sehingga tidak menutupi rambu dan petunjuk jalan. Alternatifnya, petunjuk jalan bisa dibuat menggantung di bagian tengah jalan.
Pada momentum mudik hari raya, ada petunjuk jalan yang sifatnya darurat. Papan petunjuk jalan diletakkan di tengah persimpangan. Kekurangannya, papan petunjuk seperti ini mudah dipindah-pindahkan atau mudah tertiup angin sehingga posisinya tidak selalu pada tempatnya. Untuk mengantisipasi perpindahan papan petunjuk yang berakibat menyesatkan pemudik, harus ada petugas yang mengawasi secara berkala. Lebih baik lagi jika petunjuk jalan dibuat permanen, toh akan sangat bermanfaat setiap saat bagi pemudik maupun wisatawan yang datang ke kota Solo.
Kadangkala saya melihat penumpukan petunjuk arah pada satu titik. Bukannya membantu, petunjuk jalan yang menumpuk justru menyulitkan pemudik karena membingungkan. Sebaiknya dibuat satu petunjuk jalan yang komplit dan terintegrasi.
Masalah tersesat dalam kota Solo ini pernah saya sampaikan pada teman saya yang memang tinggal di kota Solo. Darinya saya tahu bahwa di Solo sering terjadi perubahan trayek jalan. Misalnya dari jalan satu arah menjadi dua arah, dan lokasi satu arah lokasinya berubah-ubah. Penjelasan teman saya ini membenarkan pengalaman kami yang pernah mengalami salah jalur, masuk ke jalur satu arah dari arah yang berlawanan. Kontan saja mobil kelabakan dan sibuk mencari putaran balik.
Menuju Solo Ramah Pemudik
Lepas dari urusan jalan-jalan di Solo, saya menemukan daya tarik Solo bagi pemudik. Ada wisata kuliner yang menggoda, mulai dari sate kambing, bakso dan aneka soto. Harga makanan juga cukup terjangkau.
Pemaparan saya tentang sulitnya mencari petunjuk jalan di Solo semoga menjadi masukan yang membangun bagi pemerintah kota Solo. Letak Solo yang berada di persimpangan berbagai kota menjadikannya kota transit, dan ini tentu saja merupakan potensi besar bagi pendapatan kota Solo. Semoga pada mudik tahun depan, para pemudik sudah dimanjakan dengan petunjuk jalan dan rambu arah yang memudahkan.
Lebih baik lagi kalau Solo semakin berbenah mempercantik kota yang telah cantik. Semakin cantik, Solo akan menjadi tujuan wisata. Tak ketinggalan yang penting adalah menampilkan sikap ramah dan tulus terhadap tamu. Mungkin suatu saat, saya tidak lagi sekedar transit atau numpang lewat, tetapi juga berwisata, sembari mudik.
Demikian kesan saya tentang kota Solo. Tulisan ini ditulis berdasarkan pengalaman pribadi. Foto-foto pada tulisan ini diambil dari berbagai sumber dikarenakan saya tidak sempat memotret saat perjalanan mudik. Insya Allah pada mudik berikutnya saya akan mendokumentasikan lebih baik lagi.
http://anandaranz.blogspot.com |
http://www.solopos.com/2012/10/01/pasang-rambu-penunjuk-arah-3349 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar