Beban mental pasien Tb tidak lebih ringan dari beban fisik yang dideritanya. Label negatif atau stigma yang selama ini dilekatkan pada pasien Tb menjadi penyebabnya.
Stigma dan Mitos Tb.
Sudah umum bagi pasien TB menderita diskriminasi sebagai akibat dari stigma dan mitos seputar penyakit.
Dalam beberapa budaya, TB dikaitkan dengan ilmu sihir atau kutukan pada keluarga karena derita yang mengikutinya dan sulit disembuhkan. Dalam perkembangannya hingga kini, penyakit Tb juga sering dikaitkan dengan kemiskinan, tunawisma, penyalahgunaan narkoba, pengguna rokok dan alkohol, penghuni penjara, dan pengungsi. Terlebih pada pasien Tb-HIV, anggapan HIV sebagai penyakit "kotor" akan disematkan juga padanya.
Beberapa mitos penyakit Tb juga banyak dijumpai di masyarakat. TB memang mudah menular dan butuh kehati-hatian, namun bukan berarti setiap berinteraksi dengan pasien Tb akan tertular. Baksil Tb akan menginfeksi apabila sesorang terpapar udara dengan baksil Tb selama 8 jam atau lebih. Jadi, ketakutan Tb akan menular saat berdekatan dengan pasien Tb di angkutan umum adalah mitos. Karena, durasi berinteraksi dengan pasien tidak lama.
Ada mitos yang mengatakan bahwa obat-obatan TB dapat membahayakan pasien yaitu menyebabkan impotensi dan kemandulan. Masyarakat pun salah mengira TB penyakit keturunan atau menyebar seperti AIDS melalui praktik seks yang tidak aman. Mitos bahwa TB menyebar melalui jabat tangan dan berbagi makanan menyebabkan pasien Tb menjauh dari lingkungan, bahkan oleh anggota keluarga mereka sendiri.
Perempuan sering dituding sebagai sumber TB, dan mereka yang terkena penyakit dapat bercerai atau dianggap tidak layak menikah. Stigma telah mengambil bagian yang besar pada wanita dibandingkan pada laki-laki
Dampak Stigma dan Mitos
Stigma dan Mitos membuat masyarakat umumnya mendeskriminasi dan mengucilkan pasien Tb. Perilaku masyarakat yang mengarah pada stigmatisasi diperkirakan dapat menghambat pengendalian TB. Stigma TB menyebabkan pasien menarik diri dan mengabaikan gejala awal. Mereka enggan memeriksakan diri sehingga diagnosa Tb terlambat. Stigma juga mengurangi kepatuhan pengobatan
Stigmatisasi ini menjadi masalah bagi penyedia layanan kesehatan. Tidak mudah untuk menelurusuri keberadaan pasien Tb dalam sebuah kelompok masyarakat karena cenderung disembunyikan.
Tuberkulosis tidak hanya penyakit yang harus diobati dengan antibiotik, melainkan dengan mempelajari akar sejarah dan budaya yang berjalan panjang dan mendalam untuk kemudian dilakukan pendekatan pada masyarakat.
Bagaimana jika temanmu pasien Tb?
Keluarga dekat pasien Tb umumnya akan mengerti dan merawat si pasien. Tapi bagaimana dengan teman? Misalnya teman sekantor, teman sekolah atau tetangga ? Solidaritas pada teman umumnya tak sekental pada keluarga. Teman akan lebih mudah menjauh saat tahu seseorang terkena Tb. Ini adalah bentuk stigmatisasi dan deskriminasi. Bayangkan jika anda sebagai pasien Tb, tidak nyaman bukan?
Untuk menghentikan stigmatisasi dan deskriminasi, diperlukan edukasi cara penularan penyakit Tb, memperjelas mana mitos dan mana fakta, serta edukasi cara pencegahan penyakit Tb dan pengendaliannya.
Dengan beberapa langkah pencegahan, maka tidak perlu lagi enggan bergaul dengan pasien TBC asalkan sudah menjalani pengobatan. Baksil Tb sudah tidak aktif saat pasien sudah menjalani 2 minggu -1 bulan pengobatan, seiring frekuensi batuk berkurang. Dalam kondisi terkontrol, kuman TBC akan menjadi tidak aktif dan menurunkan risiko penularannya. Meski begitu, kadang-kadang risiko penularan masih mungkin terjadi sehingga ada baiknya tetap berhati-hati.
Beberapa langkah pencegahan yang bisa dilakukan saat bergaul dengan pasien TBC adalah :
1. Batasi kontak di masa awal pengobatan
Seseorang yang didiagnosis TB aktif dan harus menjalani pengobatan biasanya akan diisolasi selama kurang lebih 2 minggu. Sebaiknya tidak melakukan kontak langsung selama masa tersebut, karena risiko penularan masih cukup tinggi. Sebagai teman, anda bisa memberikan support melalui telepon atau e mail.
2. Jangan lupa munisasi
Anak-anak dan orang dengan kondisi daya tahan tubuh lemah sangat dianjurkan untuk melakukan vaksinasi Bacille Calmette-Guerin (BCG). Anjuran ini juga berlaku bagi yang ingin bepergian ke daerah endemis yang tingkat penularannya masih tinggi.
3. Gunakan masker
Seperti kita ketahui, kuman TB menyebar melalui pernapasan, yakni ketika menghirup droplet atau bercak dahak yang keluar saat batuk atau bersin. Penggunaan masker penutup hidung akan mengurangi risiko infeksi pada masa-masa awal pengobatan. Pasien Tb sebaiknya ingat untuk mengenakan masker. Memang kurang nyaman, namun ini bentuk kepedulian pada kesehatan bersama.
Four. Nutrisi cukup untuk menangkal Tb.
Baksil Tb mudah menyerang pada orang dengan kondisi kurang fit dan daya tahan tubuh lemah. Dengan alasan ini, penting bagi kita semua membentengi diri dengan nutrisi yang cukup. Suplemen penambah daya dapat membantu membentengi diri dari infeksi.
Dalam kehati-hatian, hendaknya kita tetap melakukan komunikasi aktif dengan pasien Tb tentang berbagai hal keseharian selayaknya tidak ada penyakit. Bersikap wajar, tetap ramah akan membuat pasien Tb semangat untuk berobat. Tumbuhkan kepercayaan bahwa mereka masih memiliki kita sebagai sahabat.
"Mereka" membutuhkan kita. Pasien Tb butuh dukungan lahir dan batin. Jika ketakutan dapat diluruskan, siapapun tak lagi enggan bersahabat dengan pasien Tb. Mari bekali diri dengan pengetahuan seputar Tb untuk menghapus stigma dan mematahkan mitos yang berlaku selama ini.
Dalam 8 serial tentang Tb yang saya tulis ini, menjadi perpanjangan informasi dari Departemen Kesehatan dan Tb Indonesia untuk masyarakat. Tulisan dari berbagai aspek dan sudut pandang. Semoga bermanfaat dan berperan dalam menurunkan angka penderita Tb di Indonesia.
[TAMAT]
Tulisan ini diikutkan dalam Seri VIII Lomba Blog "Temukan dan Sembuhkan Pasien TB"
Referensi :
www.Tbindonesia.Or.Id
www.Stoptbindonesia.Org
www.Depkes.Go.Id
www.Pppl.Kemkes.Go.Identification
www.Cdc.Gov
www.Who.Org
www.Kncvtbc.Org
www.Fhi.Org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar