Dalam logika keuangan sederhana, pendapatan yang saya peroleh berasal dari berbagai sumber. Pendapatan itu digunakan untuk membeli kebutuhan sehari-hari, kebutuhan bulanan dan kebutuhan jangka panjang.
Pertanyaannya adalah, apakah pendapatan saya cukup untuk membayar semua kebutuhan itu?
Kemungkinan-kemungkinannya seperti ini :
- Pendapatan lebih besar daripada pengeluaran, ini ideal sehingga saya bisa menabung.
- Pendapatan sama dengan pengeluaran, artinya uang hanya numpang lewat.
- Pendapatan kurang dari pengeluaran, sehingga solusinya adalah berhemat, dan jika diperlukan saya harus berhutang untuk modal usaha.
Analog di atas bisa membantu kita memahami apa dan bagaimana kondisi fiskal di Indonesia. Sudah pasti beda level kerumitan dan kompleksitasnya. Karena itu tak heran jika pemerintah dalam hal ini Presiden dan Menteri Keuangan pusing tujuh keliling mikirin uang negara, hehehe.
Sebelum menulis lebih jauh, saya cantumkan dulu deskripsi-deskripsi soal fiskal (sumber Wikipedia).
Fiskal (Fiscus) berasal dari nama pemegang keuangan pertama pada zaman Kekaisaran Romawi, secara harfiah dapat diartikan sebagai "keranjang" atau "tas" berarti perbendaharaan negara atau kerajaan. Fiskal digunakan untuk menjelaskan bentuk pendapatan negara yang dikumpulkan dari masyarakat dan oleh pemerintahan negara kemudian dianggap sebagai pendapatan, lalu digunakan untuk menghasilkan pencapaian pendapatan nasional, produksi dan perekonomian. Fiskal juga digunakan sebagai perangkat keseimbangan dalam perekonomian. Dua unsur utama dari fiskal adalah perpajakan dan pengeluaran publik.
Untuk mengatur fiskal dibuatlah kebijakan fiskal. Kebijakan fiskal merujuk pada kebijakan yang dibuat pemerintah untuk mengarahkan ekonomi suatu negara melalui pengeluaran dan pendapatan (berupa pajak) pemerintah.
Paham? *smile icon*
Sebagai bendahara di kantor, saya rutin berurusan dengan pembayaran pajak, baik pajak penghasilan maupun pajak pertambahan nilai saat pembelian barang.
Memang sih, seringkali bertanya-tanya, pajak-pajak yang tidak sedikit ini digunakan untuk apa ya oleh negara?
Lantas saat pulang kantor, melewati jalan berlubang sehingga menimbulkan kemacetan, saya bertanya-tanya lagi, kemana pajak-pajak yang sudah kami bayarkan itu digunakan? Kenapa jalan ini masih rusak? Apakah beda pengelolaan pajak daerah dengan pajak pusat? Kepada siapa kita meminta perbaikan jalan, apakah ke pemerintah daerah atau pusat atau ke dinas mana?
Ujung-ujungnya, suudzon sama pemerintah. Duh..Astaghfirullah...
Padahal itu terjadi karena saya melihat dari bawah, sehingga yang terlihat hanya apa yang ada di depan mata. Sementara pemerintah melihat dari atas, sehingga yang terlihat adalah keadaan seluruh negara.
Ya tapi nggak ada salahnya juga sih kita bertanya, untuk apa pajak yang telah kita bayarkan?
Jumat 6 Oktober 2017, saya mendapat undangan dari Badan Kebijakan Fiskal *BKF), Kementerian Keuangan RI untuk hadir dalam acara bincang blogger terkait kebijakan fiskal 2018. Acara itu rangkaian dari Fiscal Day 5-6 Oktober 2017 yang dibuka untuk umum. Tujuannya agar masyarakat lebih memahami apa dan bagaimana kebijakan fiskal yang disusun pemerintah selama 4 tahun terakhir dan tahun mendatang.
Dalam kesempatan ini, blogger dari berbagai latar belakang bisa bertanya dan berdiskusi langsung dengan perwakilan dari BKF yaitu Bapak Hidayat Amir, PhD. Beliau adalah Kepala Pusat PKABPN, sekaligus masuk dalam tim penyusun Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) 2018. Pak Amir ini juga blogger lho, tapi katanya blognya sudah lumutan hahaha.. Ayo Pak, ngeblog lagi :)
Tujuan Kebijakan RAPBN 2018 bertujuan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, penciptaan lapangan kerja, pengentasan kemiskinan, pengurangan kesenjangan, yang pada akhirnya bermuara pada terwujudnya kesejahteraan bagi seluruh masyarakat secara lebih berkeadilan.
Strategi yang diambil adalah dengan bertindak lebih produktif, efisien, berdaya tahan dan mampu mengendalikan resiko dalam kebijakan baik pendapatan, belanja dan pembiayaan.
Adapun tema kebijakan fiskal 2018 ini adalah pemantapan pengelolaan fiskal untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan.
Beberapa hasil diskusi yang bisa saya catat dalam bentuk tanya jawab berikut :
- Kenapa anggaran di Kementerian Sosial melonjak dalam 3 tahun ini?
Jawab :
Penyusunan anggaran di Indonesia sangat dinamis menyesuaikan kebutuhan nasional. Saat sebuah program telah terselesaikan, dananya dihentikan dan dialokasikan untuk program lain, tidak menutup kemungkinan lintas kementerian.
Jika dianalogikan hutan negara dengan KPR, bagi yang belum memiliki rumah, pilih mana, kontrak tahunan atau mengambil kredit kepemilikan rumah? Terasa kan bedanya, menyewa tidak membuat kita memiliki, jadi jika dana bulanan cukup untuk mencicil KPR, tentu KPR lebih baik, demi bisa memiliki rumah dan digunakan dalam jangka panjang.
Memandang hutang sebagai beban akan membuat kita terpuruk, sebaliknya, memandang hutang sebagai modal dan kepercayaan akan membuat kita semangat untuk membangun. Selain itu, ada aturan perundangan yang menyatakan batas maksimal defisit adalah 3%, secara otomatis membatasi pemerintah agar berhutang dalam batas kewajaran.
Jawab :
Berhitung dari data-data di tahun sebelumnya, dan memprediksikan pendapatan di tahun depan, membantu pemerintah dapat menyusun APBN secara lebih akurat. Ada istilah asumsi makro ekonomi. Namanya asumsi, bisa saja tepat atau meleset. Kalau meleset, tahun berikutnya akan segera direvisi. Ibarat kita memanah, saat menembakkan panah ada hambatan angin, tenaga kurang dan faktor eksternal lainnya sehingga menyebabkan mata panah tidak tepat jatuhnya pada sasaran. Untuk itulah ada monitoring dan revisi-revisi yang berkelanjutan. Sementara masih banyak pertanyaan menari-nari, waktu telah menunjukkan saatnya Sholat Jumat. Pastinya dalam acara yang hanya 2 jam itu masih meninggalkan rasa penasaran. Pesan Pak Amir kepada kita semua, Badan Kebijakan Fiskal sangat terbuka untuk berkomunikasi, jadi jangan segan-segan untuk bertanya melalui akun medsos ataupun berkirim surat. Sedangkan info-info resmi yang dilansir BKF bisa dilihat secara lengkap di http://www.fiskal.kemenkeu.go.id/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar